Tuesday, May 29, 2007

PESAN-PESAN UNTUK ISTERI

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
http://www.almanhaj.or.id/content/2126/slash/0

Anas berkata, "Para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika
menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri
agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya."

Ummu Humaid berkata, "Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang
wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada 'Aisyah dan
memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya
seraya mendo'a-kannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta
memenuhi hak suami"[1]

'Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, "Janganlah
engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka
mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu
adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik adalah air."

Abud Darda' berkata kepada isterinya, "Jika engkau melihat-ku marah, maka
redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku
meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis."

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh
rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi

Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik

Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

'Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti 'Auf. Ketika dia akan
dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu
berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan
yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi
undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

"Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar,
dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang
yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak
membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat
membutuh-kanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya.
Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula
laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya
engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada
keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa
dengannya. Ia dengan ke-kuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka
jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah
untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana'ah (merasa cukup), serta
mendengar dan patuh kepadanya.

Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya
melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali
oroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan
akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan
kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan
baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan
menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka
hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebar-kan rahasianya, maka engkau
tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau
bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di
hadapannya ketika dia bergembira"[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak
membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, "Perintahkan kepada puterimu
agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah
mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan
bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan
lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab
keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul
Mukminin 'Utsman bin 'Affan Radhitallahu 'anhu, dan beliau telah
menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, "Wahai puteriku,
engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih
mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini:
bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur
hujan."

Abul Aswad berkata kepada puterinya, "Jangalah engkau cemburu, sebab
kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik
perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah
menyempurnakan wudhu.'"

Ummu Ma'ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah
diramunya dengan senyum dan air matanya: "Wahai puteriku, engkau akan
memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya
untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan
menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorang pun yang
menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan
darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau
sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya
dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami
itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang
membahagia-kannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia
menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah
meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu.
Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan
laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana
dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus
membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat
hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya.
Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu.
Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak me-mintamu melupakan
ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu
selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan
hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu,
mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya."

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi 'Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan
'Umar Radhiyallahu 'anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya.
Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya
berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui
hal itu, maka dia memegang tangan 'Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya
ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: "Aku memintamu bersumpah
demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?" Ia menjawab, "Jangan memintaku
bersumpah demi Allah." Dia mengatakan, "Aku memintamu bersumpah demi Allah."
Ia menjawab, "Ya."

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, "Apakah engkau dengar?" Kemudian
keduanya bertolak hingga sampai kepada 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
'anhu lalu mengatakan, "Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita
dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam." Lalu 'Umar bertanya
kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu
Abi 'Udzrah (untuk datang kepada 'Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu
'Umar bertanya, "Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah
kepadanya?" Ia menjawab, "Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan
menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku
takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul
Mukminin?" Dia menjawab, "Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian
tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu
kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta,
tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala"[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap
murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh
sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya
dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak
berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang
membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga
engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal
bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. HR. Ibnu Abi Syaibah (IV/305-306).
[2]. Ahkaamun Nisaa', Ibnul Jauzi (hal. 74-78).
[3]. Syarhus Sunnah (XIII/120).

Thursday, May 24, 2007

MENGGAPAI RIDHA ALLAH DENGAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua
orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga.
Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu
mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti
kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.

Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah 'Azza wa Jalla melalui orang tua
adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua)
merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur'an,
setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah 'Azza wa Jalla
memerintahkan untuk berbakti kepada orang tuanya.

Seperti tersurat dalam surat al-Israa' ayat 23-24, Allah Ta'ala berfirman:

"Artinya : Dan Rabb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah
melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada
keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, dan
ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, 'Ya Rabb-ku,
sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu
kecil.'" [Al-Israa' : 23-24]

Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa' ayat 36:

"Artinya : Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua
orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil [1], dan hamba sahaya yang
kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan diri." [An-Nisaa' : 36]

Dalam surat al-'Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang
kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:

"Artinya : Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada
kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah
engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." [Al-'Ankabuut (29): 8]
Lihat juga surat Luqman ayat 14-15.

ANJURAN BERBUAT KEPADA KEDUA ORANG TUA BAIK DAN LARANGAN DURHAKA KEPADA
KEDUANYA
Yang dimaksud ihsan dalam pembahasan ini adalah berbakti kepada kedua orang
tua, yaitu menyampaikan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan
bila memungkinkan mencegah gangguan kepada keduanya. Menurut Ibnu 'Athiyah,
kita juga wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang mubah (yang
diperbolehkan syari'at), dan harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan
keduanya dan menjauhi apa-apa yang dilarang (selama tidak melanggar
batasan-batasan Allah 'Azza wa Jalla).

Sedangkan 'uququl walidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak
terhadap keduanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh gangguan
berupa perkataan, yaitu mengucapkan "ah" atau "cis", berkata dengan kalimat
yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci maki dan lain-lain.
Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar, seperti memukul dengan
tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau menyuruh untuk
memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan, tidak bersilaturrahim,
atau tidak memberi nafkah kepada kedua orang tuanya yang miskin.

KEUTAMAAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA DAN PAHALANYA
[1]. Merupakan Amal Yang Paling Utama
'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu berkata.

"Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, 'Amal
apakah yang paling utama?' Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menjawab,
'Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal
waktunya).' Aku bertanya lagi, 'Kemudian apa?' Nabi menjawab: 'Berbakti
kepada kedua orang tua.' Aku bertanya lagi: 'Kemudian apa?' Nabi menjawab,
'Jihad di jalan Allah' [2]

[2]. Ridha Allah Bergantung Kepada Ridha Orang Tua
Sesuai hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, disebutkan:

"Artinya : Dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash radhiyallaahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ridha Allah bergantung
kepada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang
tua" [3]

[3]. Berbakti Kepada Orang Tua Dapat Menghilangkan Kesulitan Yang Sedang
Dialami
Yaitu, dengan cara bertawassul dengan amal shalih tersebut. Dalilnya adalah
hadits riwayat dari Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma mengenai kisah tiga
orang yang terjebak dalam gua, dan salah seorangnya bertawassul dengan bakti
kepada ibu bapaknya.
Haditsnya sebagai berikut:

"Artinya : ...Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang
berjalan, lalu kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah
gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh
dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: 'Ingatlah
amal terbaik yang pernah kamu lakukan.' Kemudian mereka memohon kepada Allah
dan bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah
menghilangkan kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: 'Ya
Allah, sesung-guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia
sedangkan aku mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku
menggembala kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan
memberikan kepada kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus
berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang
sudah larut malam dan aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap
memerah susu sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku
mendatangi keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku
merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya.
Aku tidak akan memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini
kuberikan kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya
bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada
keduanya. Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya
Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap
wajah-Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.' Maka batu yang menutupi pintu gua
itu pun bergeser sedikit.."[4]

[4]. Akan Diluaskan Rizki Dan Dipanjangkan Umur
Sesuai sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan di-panjangkan
umurnya, maka hendaklah ia menyam-bung silaturrahimnya." [5]

Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang
tua sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang
sering berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri
jarang, bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama
orang tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi
kepada kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan
dimudahkan rizki dan dipanjangkan umurnya.

[5]. Akan Dimasukkan Ke Surga Ooleh Allah 'Azza wa Jalla
Berbuat baik kepada orang tua dan taat kepada keduanya dalam kebaikan
merupakan jalan menuju Surga. Sedangkan durhaka kepada orang tua akan
mengakibatkan seorang anak tidak masuk Surga. Dan di antara dosa-dosa yang
Allah 'Azza wa Jalla segerakan adzabnya di dunia adalah berbuat zhalim dan
durhaka kepada orang tua. Dengan demikian, jika seorang anak berbuat baik
kepada orang tuanya, Allah akan meng-hindarkannya dari berbagai malapetaka,
dengan izin Allah 'Azza wa Jalla dan akan dimasukkan ke Surga.

BENTUK-BENTUK DURHAKA KEPADA KEDUA ORANG TUA
[1]. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan atau pun
perbuatan yang mem-buat orang tua sedih atau sakit hati.
[2]. Berkata "ah" atau "cis" dan tidak memenuhi pang-gilan orang tua.
[3]. Membentak atau menghardik orang tua.
[4]. Bakhil atau kikir, tidak mengurus orang tuanya, bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada mengurus orang tuanya, padahal orang tuanya
sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan dengan penuh
perhitungan.
[5]. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua,
mengatakan bodoh, "kolot", dan lain-lain.
[6]. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan makanan.
Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama jika mereka
sudah tua dan lemah. Tetapi, jika si ibu melakukan pekerjaan tersebut dengan
kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa, dan karena itu seorang anak harus
berterima kasih dan membantu orang tua.
[7]. Menyebut kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan
nama baik orang tua.
[8]. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah, misalnya alat musik, mengisap
rokok, dan lain-lain.
[9]. Lebih mentaati isteri daripada kedua orang tua. Bahkan ada sebagian
orang yang tega mengusir ibunya demi menuruti kemauan isterinya.
Nas-alullaahas salaamah wal 'aafiyah
[10]. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan
keberadaan orang tua dan tempat tinggal ketika status sosialnya meningkat.
Tidak diragukan lagi, sikap semacam itu adalah sikap yang sangat tercela,
bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
[1]. Bergaul bersama keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberi kegembiraan kepada
seseorang mukmin termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberi
kegembiraan kepada orang tua kita

[2]. Berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya
dibedakan adab ber-bicara antara kepada kedua orang tua dengan ke-pada anak,
teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada
kedua orang tua.

[3]. Tawadhu' (rendah hati). Tidak boleh kibr (som-bong) apabila sudah
meraih sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita
berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan,
minum, dan pakaian oleh orang tua.

[4]. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya
semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta
itu kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.

[5 ]. Mendo'akan kedua orang tua. Di antaranya dengan do'a berikut:
"Wahai Rabb-ku, kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidikku sewaktu kecil."

Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid'ah, kita tetap harus
berlaku lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali
kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid'ah adalah
sebesar-besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan
dasar ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo'a siang dan malam
agar orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.

APABILA KEDUA ORANG TUA TELAH MENINGGAL
Maka yang harus kita lakukan adalah:
[1]. Meminta ampun kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan taubat nashuha (jujur)
bila kita pernah berbuat dur-haka kepada keduanya di waktu mereka masih
hidup.
[2]. Menshalatkannya dan mengantarkan jenazahnya ke kubur.
[3]. Selalu memintakan ampunan untuk keduanya.
[4]. Membayarkan hutang-hutangnya.
[5]. Melaksanakan wasiat sesuai dengan syari'at.
[6]. Menyambung silaturrahim kepada orang yang keduanya juga pernah
menyambungnya.

Semoga dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam tersebut, kita
dimudahkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dalam mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Aamiin.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II
Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam
Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173),
ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no.
2), Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim
(IV/151-152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan adz-Dzahabi
menyetujuinya. Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan hadits ini
sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi).
Lihat Shahiih Adabul Mufrad (no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari
(IV/449), Muslim (no. 2743), dari Shahabat 'Abdullah bin 'Umar radhiyallaahu
'anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim
(no. 2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu
'anhu.

Tuesday, May 15, 2007

HUKUM JUAL BELI SISTEM KREDIT

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=224&bagian=0

Pertanyaan.
Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashhiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana
hukum syara (agama) tentang jual beli dengan sistem kredit dalam
pembayarannya .?

Jawaban
Jual beli dengan sistem kredit (bittaqsith) adalah bid'ah amaliyah yang
tidak dikenal kaum muslimin pada abad-abad (qurun) dahulu. Hal itu adalah
amalan yang dipraktekkan orang-orang kafir sebelum menduduki negara kaum
muslimin, kemudian menjajahnya dan mengatur negara jajahannya dengan
undang-undang mereka yang kafir.

Setelah medapatkan keuntungan yang besar dari negara jajahannya, mereka
pergi meninggalkan pengaruh-pengaruh buruk dalam negara itu. Sedangkan kaum
muslimin yang hidup pada zaman sekarang berada dalam tata kehidupan
(muamalat) peninggalan orang-orang kafir tersebut. Yang lebih penting
sebagaimana yang diucapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Saya tidak meninggalkan suatu yang dapat mendekatkan kalian
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, melainkan telah saya perintah kalian
dengannya. Dan tidaklah saya meninggalkan suatu yang dapat menjauhkan kalian
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mendekatkan kalian ke neraka, melainkan
telah saya peringatkan kalian daripadanya". [Lihat As-Shahihah : 1803]

Dari situ sesungguhnya Rasulullah telah melarang amalan yang pada hari ini
dinamakan " Jual Beli Sistem Kredit" (Bittaqsith). Jual beli ini adalah
bid'ah yang tidak dikenal kaum muslimin sebelumnya.

Saya ingatkan juga, nama ini adalah bid'ah yang tidak ditemukan dalam
kitab-kitab fiqih manapun, yang menyebutkan "Jual Beli Sistem Kredit". Dalam
kitab-kitab kaum muslimin ada sistem hutang dan dinamakan "Pinjam Meminjam
Yang Baik" (Qardhul Hasan), sebagai istilah dalam hubungan muamalat kaum
muslimin. Padahal Nabi memberi anjuran terhadap pinjam meminjam yang baik,
dapat mencapai derajat keutamaan. Diibaratkan dengan memberi pinjamam 2
dinar, seperti kalau engkau memberi shadaqoh 1 dinar. Maksudnya apabila
engkau telah meminjamkan 2 dinar kepada saudara engkau yang muslim,
seakan-akan engkau telah mengeluarkan shodaqoh 1 (satu) dinar dari saku
engkau.

Sebagaimana anjuran pinjam meminjam yang baik, Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam melarang memungut tambahan sebagai ganti kesabarannya
terhadap saudara engkau yang muslim, dalam memenuhi hutangnya. Berkata
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang menjual dua jualan dalam satu jualan maka hak
baginya adalah harga yang kurang, atau termasuk riba".

Dalam riwayat lain.

"Artinya : Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dua jual beli
dalam satu jual beli".

Ditanya seorang yang meriwayatkan hadits ini tentang makna larangan
tersebut. Maka jawabnya.

"Engkau berkata, saya jual ini kepada engkau dengan harga sekian secara
kontan, jika nyicil (kredit) dengan harga sekian dan sekian".

Atau lebih jelasnya, saya jual barang ini kepada engkau dengan harga 100
dinar secara kontan, dan harga 105 dinar secara kredit.

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa yang menjual dua jualan dalam satu jualan maka hak
baginya adalah harga yang kurang, atau termasuk riba".

Maksudnya apabila dia mengambil tambahan maka itulah riba. Seperti barang
ini, yang telah engkau jual dengan harga 105 dinar, yang 5 dinar sebagai
ganti kesabaran menunggu.

Kalau ada hukum Islam bagi individu dan pemerintah, untuk seorang pembeli
yang telah dipungut 5 dinar oleh pedagang sebagai ganti kesabaran menunggu,
maka pembeli tersebut berhak menuntut dan mengadukan kepada ahli ilmu.

Inilah makna hadits tersebut, yang dijual satu tetapi yang ditawarkan dua
jualan atau dua jual beli. "Kontan dengan harga sekian hutang dengan harga
sekian". Rasulullah menamakan tambahan yang dikarenakan hutang dengan nama
riba.

Dalam As-Shahihain 50/419-427 dijelaskan secara rinci tentang bittaqsith.
[Al-Ashalah 6/15 Shafar 1414 H hal.70]

[25 Fatwa Fadhilatus Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 15-18
Design Optima, Semarang 1995]

HUKUM BERJUAL BELI SECARA KREDIT

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Pembicaraan seputar
berjual beli secara kredit lagi marak. Oleh karena itu, mohon kepada yang
mulia untuk menjelaskan hukum mejual dengan kredit !

Jawaban
Menjual dengan kredit artinya bahwa seseorang menjual sesuatu (barang)
dengan harga tangguh yang dilunasi secara berjangka. Hukum asalnya adalah
dibolehkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya"
[Al-Baqarah : 282]

Demikian pula, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam telah membolehkan
jual beli As-Salam, yaitu membeli secara kredit terhadap barang yang dijual.
Akan tetapi kredit (angsuran) yang dikenal di kalangan orang-orang saat ini
adalah termasuk dalam bentuk pengelabuan terhadap riba. Teknisnya ada
beberapa cara, di antaranya :

Pertama
Seseorang memerlukan sebuah mobil, lalu datang kepada si pedagang yang
tidak memilikinya, sembari berkata, "Sesungguhnya saya memerlukan mobil
begini". Lantas si pedagang pergi dan membelinya kemudian menjual kepadanya
secara kredit dengan harga yang lebih banyak. Tidak dapat disangkal lagi,
bahwa ini adalah bentuk pengelabuan tersebut karena si pedagang mau
membelinya hanya karena permintaannya dan bukan membelikan untuknya karena
kasihan terhadapnya tetapi karena demi mendapatkan keuntungan tambahan,
seakan dia meminjamkan harganya kepada orang secara riba (memberikan bunga,
pent), padahal para ulama berkata, "Setiap pinjaman yang diembel-embeli
dengan tambahan, maka ia adalah riba". Jadi, standarisasi dalam setiap
urusan adalah terletak pada tujuan-tujuannya.

Kedua
Bahwa sebagian orang ada yang memerlukan rumah tetapi tidak mempunyai
uang, lalu pergi ke seorang pedagang yang membelikan rumah tersebut
untuknya, kemudian menjual kepadanya dengan harga yang lebih besar secara
tangguh (kredit). Ini juga termasuk bentuk pengelabuan terhadap riba sebab
si pedagang ini tidak pernah menginginkan rumah tersebut, andaikata
ditawarkan kepadanya dengan separuh harga, dia tidak akan membelinya akan
tetapi dia membelinya hanya karena merasa ada jaminan riba bagi dirinya
dengan menjualnnya kepada orang yang berhajat tersebut.

Gambaran yang lebih jelek lagi dari itu, ada orang yang membeli rumah atau
barang apa saja dengan harga tertentu, kemudian dia memilih yang separuh
harga, seperempat atau kurang dari itu padahal dia tidak memiliki cukup uang
untuk melunasinya, lalu dia datang kepada si pedagang, sembari berkata,
"Saya telah membeli barang anu dan telah membayar seperempat harganya, lebih
kurang atau lebih banyak dari itu sementara saya tidak memiliki uang, untuk
membayar sisanya". Kemudian si pedagang berkata, "Saya akan pergi ke pemilik
barang yang menjualkannya kepada anda dan akan melunasi harganya untuk anda,
lalu saya mengkreditkannya kepada anda lebih besar dari harga itu. Dan
banyak lagi gambaran-gambaran yang lain.

Akan tetapi yang menjadi dhabit (ketentuan yang lebih khusus) adalah bahwa
setiap hal yang tujuannya untuk mendapatkan riba, maka ia adalah riba
sekalipun dikemas dalam bentuk akad yang halal, sebab tindakan pengelabuan
tidak akan mempengaruhi segala sesuatu. Mengelabui hal-hal yang diharamkan
oleh Allah, hanya akan menambahnya menjadi semakin lebih buruk karena
mengandung dampak negativ Dari hal yang diharamkan dan penipuan, padahal
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kamu melakukan dosa sebagaimana dosa yang dilakukan
oleh orang-orang Yahudi sehingga (karenanya) kemu menghalalkan apa-apa yang
telah diharamkan oleh Allah (sekalipun) dengan serendah-rendah (bentuk)
pengelabuan (siasat licik)". [1]

[Fatawa Mu'ashirah, hal. 52-53, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul
Haq]
_________
Foote Note
[1] Lihat, Ibn Baththah dalam kitab Ibthalil Hiyal hal. 24. Irwa'ul Ghalil
1535

Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Web Links and Articles Directory