Wednesday, February 27, 2008

Birrul Walidain


Sepeninggal Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umayyah, rakyat membaiat Umar bin Abdul Aziz menjadi penerus dinasti yang dibangun oleh Mua'wiyah bin Abu Sufyan. Sebelum menjadi khalifah, Umar pernah menjabat Gubernur Madinah. Beliau mempunyai beberapa orang anak, di antaranya Abdul Malik bin Umar. Dia masih muda tetapi ketaqwaan dan kezuhudannya selalu menghiasi lembaran hidupnya.

Alkisah, ketika Umar sampai di rumah, sepulang mengurusi jenazah Sulaiman, datanglah Abdul Malik menghampirinya. Ia bertanya, “Wahai amirul mukminin, gerangan apakah yang membaringkan Anda di siang bolong ini?” Umar bin Abdul Aziz sempat kaget, tatkala putranya memanggilnya dengan Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah. Ini mengisyaratkan putranya ingin mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.

“Aku letih dan butuh istirahat”, jawab sang ayah.

“Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak rakyat yang tertindas?”

“Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti, setelah shalat Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya”.

“Wahai amirul mukminin, siapakah yang menjamin Anda hidup sampai Zhuhur, jika Allah mentaqdirkanmu mati sekarang?” Mendengar ucapan sang anak, Umar tambah terperanjat.

Beliau memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah pemuda itu sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku seorang anak yang telah membantuku menegakkan agama”. Selanjutnya beliau perintah juru bicaranya mengumumkan kepada seluruh rakyat. “Barang siapa yang merasa dianiaya, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah”.

Itulah salah satu cuplikan kehidupan Abdul Malik, seorang pemuda yang shaleh dan bertanggung jawab. Meskipun Allah memberinya usia relatif singkat, kurang dari dua puluh tahun, namun hidupnya diwarnai oleh ketaqwaan, ibadah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dia tidak segan menegur ayahnya saat dilihatnya lalai dalam menjalankan amanah. Dia tidak sungkan menasihati ayahnya agar selalu teguh pada hukum Allah dalam setiap gerak serta langkahnya. Dia tahu semua itu adalah kewajiban yang harus disampaikan dan bentuk implementasi birul walidain (bakti kepada ibu bapak).

Birul walidain adalah hak setiap orang tua. “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya” (QS 29:8). Ia tidak hanya berupa taat, patuh atau turut kepada kehendak orang tua, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Namun ia lebih dari itu.

Birul walidain adalah nasihat anak kepada orang tua manakala mereka sedang meniti jalan dosa. Allah bercerita tentang nabi-Nya Ibrahim AS yang menasihati ayahnya ketika sang ayah menyembah berhala, ”Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah syetan. Sesungguhnya syetan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Allah,maka kamu menjadi kawan bagi syetan” (QS. 19:144-145)

Mungkin masih banyak diantara kita yang orang tuanya masih terperangkap dalam dosa. Sayangnya banyak pula diantara orang-orang muda yang bergelut dalam da'wah membiarkan orang tuanya tersesat. Padahal mereka lebih berhak dida'wahkan ketimbang orang lain.

Birul walidain juga menuntut mu'asyarah bil ma'ruf (bergaul dengan baik) kepada orang tua. Allah berpesan, “Dan bergaullah kepada kedua nya di dunia dengan baik” (QS 31:15). Dalam sejarah dakwah, banyak sekali kita temukan tokoh-tokoh simpatik yang melegendakan karena baktinya kepada kedua orang tua. Saad bin Abi Waqqas, sebagai contoh, meskipun ibunya musyrik dan mengancam mogok makan jika anaknya tidak mau kembali ke agama semula, beliau tetap menghormati ibunya dan memperlakukannya dengan baik. Bukan sesuatu yang terpuji, jika seseorang muslim, apalagi da'iyah, yang tidak menghormati dan menghargai orang tuanya. Hanya karena beda visi dalam memandang Islam, orang tua divonis kafir atau musyrik.

Banyak sekali contoh kesenjangan yang sebetulnya tidak akan terjadi jika anak mampu menempatkan permasalahan secara wajar. Sebagai contoh kasus pernikahan atau walimah. Banyak orang tua tidak setuju pemisahan antara undangan pria dan wanita. Itu terjadi karena selama ini tradisi yang ada membenarkan dicampurnya undangan laki-laki dan wanita pada satu ruangan. Apatah lagi tradisi tersebut dilegalisir oleh sebagian orang yang dianggap berilmu dan shalih. Kalau saja hubungan sang anak dengan orang tuanya baik, tentunya dia akan mendapatkan kemudahan dalam menghidupkan salah satu sunah Rasulullah SAW, tanpa harus timbul konflik berkepanjangan.

Kita yakin semua orang tua menginginkan anak yang shalih dan bakti seperti Abdul Malik bin Umar. Kita semua tidak pernah mendambakan anak durhaka. Namun yang menjadi pertanyaan, “Apakah kita sudah berbakti kepada orang tua sehingga mengharap keturunan yang baik?” Bukankah ada pepatah, “Bagaimana mungkin bayangan akan lurus jika tongkatnya bengkok?” Dan bagaimana mungkin pula anak akan berbakti jika orang tuanya durhaka. Ingat pesan Rasulullah saw, “Berbaktilah kepada kedua orang tua kalian, niscaya akan berbakti pula anak-anak kalian” (HR. Thabrani).

Sebagai orang yang sedang meniti jalan dakwah, kita dituntut berlaku bijaksana dalam menghadapi berbagai keganjilan yang ada pada orang tua. Jika mereka belum mau shalat, menutup aurat, dan belum siap menghidupkan sunah Rasulullah saw, kewajiban kita hanya mengingatkan mereka dan tidak ada hak untuk memaksakan kehendak. Kalau saja Sa'ad bin Abi Waqqas, Asma binti Abu Bakar diperintahkan untuk berbuat baik kepada ibu mereka yang musyrik, apalagi kita yang mempunyai orang tua yang muslim, tentu mereka lebih berhak untuk dihormati dan dihargai.

Kemungkaran dan kebatilan yang dilegalisir sekarang ini, adalah hasil dari upaya musuh-musuh Islam yang prosesnya sudah berjalan lama. Dan untuk mengembalikannya kepada Al-Haq tentunya butuh waktu lama. Itulah yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz kepada anaknya ketika sang anak bertanya kenapa kemungkaran yang ada tidak dicegah secepatnya. Kata Umar, “Hai anakku, umat telah melepaskan ikatan Islam sedikit demi sedikit. Jika aku hapuskan dalam sehari saja, aku khawatir umat akan memberontak dan darah tertumpah. Demi Allah hancurnya dunia lebih ringan bagiku dari pada tertumpahnya setitik darah karena diriku ………………”.

Pegawai Negeri Makan Sate


Ada seorang pegawai negeri yang saleh pulang kerja lembur pada akhir bulan.
Sementara pulang, dalam keadaan perut lapar sehabis lembur, dia berpikir
alangkah enaknya kalau sampai di rumah nanti makan nasi panas dengan lauknya
yang dibuat isteri tercintanya. Setelah sampai rumah dia disambut isterinya
lalu cuci tangan dan minta disediakan makan. Isterinya menyampaikan bahwa
makanan yang ada tinggal nasi dan hanya sedikit sayur bayam tanpa lauk.
Sebagai orang yang saleh si pegawai negeri bersyukur karena menyadari bahwa
setiap akhir bulan uang pasti sudah habis sehingga bisa makanpun sudah
syukur.

Tiba-tiba dia punya ide alangkah nikmatnya kalau sore itu makan dengan sate
ayam yang ada di dekat rumahnya karena sehabis lembur dia dapat uang
transport yang bisa dipakai jajan sate ayam. Namun dia berpikir alangkah
egoisnya kalau dia makan sate sendirian dan isterinya tidak. Dan besok
mereka harus makan apa kalau uangnya dipakai jajan sate. Makan sate berdua
dengan uang transport yang didapat barusan tidak cukup. Sebagai orang yang
saleh dia memutuskan untuk memberikan uangnya kepada isterinya untuk membeli
lauk pauk untuk besoknya. Tapi sore ini lauknya tiadak ada. Maka pikirnya
mungkin nikmat juga kalau dia makan nasi panas di dekat penjual sate sebab
jika bisa mencium baunya saja rasanya sudah seperti makan sate sungguhan.
Maka berangkatlah dia sambil bawa nasi sendiri ke dekat tukang sate. Tentu
dia cari posisi duduk dimana angin bertiup. Maka makanlah si pegawai negeri
itu dengan lahap sambil tersenyum, rupanya nikmat juga walaupun hanya
mencium bau sate.

Lalu selesailah sudah makannya dan perut sudah kenyang tetapi alangkah
terkejutnya ketika mau pulang dia ditagih penjual sate untuk membayarnya.
Dia berdalih bahwa dia tidak makan satenya. Jawab tukang sate ngotot bahwa
kalau tidak ada bau sate yang dia bikin tentu tidak bisa makan dengan lahap.
Lanjutnya bahwa dia duduk dekat tempat jualan sate memang dengan sengaja
mau mencium aroma sate sebagai lauk makannya. Tukang sate tetap menuntut
bayaran atas aroma sate itu.

Bingunglah si pegawai negeri ini atas tuntutan si penjual sate karena tidak
punya uang sama sekali. Ketika tanya berapa harus bayar maka tukang sate
menjawab kalau nasi sate 5 ribu rupiah maka untuk mencium dengan sengaja
aroma sate cukup seribu saja. Cukup fair juga tukang sate itu.

Sementara berdebat kebetulan datanglah ketua RT setempat, seorang tua yang
dikenal bijaksana, ketempat itu untuk membeli sate. Maka mengadulah mereka
masing-masing dengan argumentasinya kepada orang tua bijaksana ini. Mereka
berjanji apa saja yang diputus
kan orang tua ini akan mereka turuti karena
mereka tahu pasti akan ada jalan keluar. Pikir tukang sate pastilah dia akan
dibayar tetapi pikir si pegawai negeri pastilah tidak akan disuruh membayar
karena memang tidak pernah merasakan sate kecuali aromanya saja. Terjadilah
suasana hening menunggu keputusan. Lalu orang tua itu berkata bahwa
sipegawai negeri memang harus membayar karena dengan sengaja telah mencium
aroma sate dengan tujuan sebagai lauknya meskipun hanya dalam bayangannya.
Maka terkejutlah sipegawai negeri dan tersenyumlah si tukang sate atas
keputusan itu. Sipegawai negeri terhenyak berpikir bagaimana dia harus
membayarnya karena tidak punya uang. Mendadak orang tua bijaksana itu
merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang recehan seratusan dan dua ratusan
dari kantong celananya dan mulai menghitung seratus, dua ratus,
lima ratus,
cring..,cring...cring... sampai genap seribu rupiah. Semua mata
memperhatikan tangan orang tua ketika menghitung uangnya.

Lalu katanya kepada penjual sate :" Apakah anda melihat uang yang saya
hitung jumlahnya seribu ?".

Jawab tukang sate : "Benar".

Orang tua itu juga bertanya : "Apakah anda juga mendengar gemerincing uang
yang saya hitung?"

Jawab tukan sate pula : "Benar".

"Baiklah kalau begitu", kata orang tua bijak
sana kepada kedua orang yang
bersengketa : "Persoalan ini telah selesai".

Terkejutlah situkang sate bagaimana akhirnya bisa begini. Orang tua itu
menjelaskan : "Yang satu dituntut membayar karena telah mencium aroma sate
dan yang lain tentu juga harus puas telah dibayar setelah melihat dan
mendengar gemericingnya uang seribu rupiah, karena yang satu hanya dapat "
makan sate" dalam bayangannya maka cukuplah adil yang lainya juga dibayar
dengan "melihat dan mendengar" uangnya saja..................."




Thursday, February 14, 2008

Islam,Mata Air Keadilan

Keadilan adalah fitrah yang amat dicintai manusia, di sudut jagad manapun ia berada. Lantas, mengapa orang sulit berlaku adil?
R isalah keadilan diemban secara turun temurun oleh para Rasul ‘alaihimussalam. Berbagai ajaran wahyu yang mereka sampaikan mendorong tegaknya keadilan di muka bumi dalam bentuk seluas-luasnya. Tak pelak, setiap Nabi yang diutus, selalu menghadapi benturan dari kezaliman yang tersistem dan dilindungi oleh penguasa. Keadilan adalah lawan dari kezaliman. Secara amat sederhana, hakikat keadilan adalah kemampuan untuk “menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Di sinilah orang banyak bersilang pendapat tentang menempatkan sesuatu pada porsinya. Masing-masing ideologi dan pemikiran dunia mengajukan pandangan tentang “bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Ideologi gender a la Barat, memandang kesetaraan antara pria dan wanita sebagai bentuk keadilan yang harus diperjuangkan. Pandangan ini didasarkan pada satu perspektif bahwa keduanya adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Padahal, di sisi lain, terdapat kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa keduanya adalah makhluk yang berbeda dari segi fisik maupun fitrah, meski sama-sama ciptaan Tuhan. Di sini keadilan menemukan jalan buntu. Lain lagi dengan Kapitalisme. Ideologi ini berpandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat diraih dengan memenuhi seluruh kebutuhan materialnya. Dengan sendirinya, yang harus dilakukan oleh setiap individu dan masyarakat adalah menjamin terselenggaranya proses penciptaan material seluas-luasnya, agar kebahagiaan berikut peradaban kemanusiaan dapat terbina. Yang terlupakan selanjutnya adalah aspek rohani dan spiritual manusia sebagai makhluk Tuhan. Sebab, kebahagiaan jiwa tak dapat diperoleh melalui pencapaian materi semata. Kebahagiaan misalnya, tak mungkin terwujud dengan memperoleh harta dari hasil menggencet orang lain. Di sini, kembali keadilan menemui jalan buntu. Lain Kapitalisme, lain pula Komunisme. Ideologi yang satu ini memandang perbedaan kelas antara kaum miskin (proletar) dan kaya (borjuis) sebagai sumber malapetaka. Perjuangan antar kelas harus dihapus. Masyarakat bahagia adalah masyarakat tanpa kelas. Terang saja, pikiran ini menyalahi fitrah dan sunnatullah terhadap manusia, di mana mereka diciptakan dalam kelas-kelas ekonomi dan sosial. Padahal, letak persoalan sebenarnya adalah bagaimana membangun hubungan dan pola interaksi yang harmonis antara kaya dan si miskin. Lagi-lagi, keadilan tak menemukan habitatnya. Inilah satu di antara hikmah diutusnya para Rasul ‘alaihimussalam dan diturunkannya berbagai kitab wahyu kepada manusia. Bahwa keadilan dan kebenaran, betapa pun terangnya bagi sebagian orang, tetap membutuhkan para pencerah yang ikut menjelaskan dan mengingatkan. “Dan sungguh telah Kami utus seorang Rasul pada setiap umat agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (QS an-Nahl:36) Selain itu, keadilan dalam bentuk nyata dan luas, tak mungkin dapat terwujud tanpa campur tangan wahyu. Betapa pun tinggi upaya kreasi dan ijtihad manusia dalam menemukan makna keadilan, perselisihan dan silang pandangan akan terus mewarnai. Di satu saat, keadilan sejati dapat diraih, di lain kesempatan, ia tak sanggup direnggut. Karena itu, amat wajar jika Allah menegaskan, bahwa Allah tak menyisakan satu pun masalah yang tak terbahas dalam al-Qur’an, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab (al-Qur’an),” (QS al-An’am: 38). Artinya, integralitas ini mencakup juga makna alif-ba-ta keadilan. Karena makna keadilan hanya dapat dipahami secara luas melalui tuntunan wahyu, seringkali pikiran seakan ingin menolak karena tak mampu memahami. Sebagai misal, ketetapan dua banding satu dalam masalah pembagian waris antara pria dan wanita, oleh sebagian orang dianggap tidak adil, karena memasung hak-hak persamaan dan kesetaraan. Setelah memahami tanggung jawab nafqah dan pemeliharaan yang diemban kerabat pria terhadap kerabat wanita, barulah hal itu dapat dipahami. Ini juga adalah rahmat Allah kepada kaum wanita agar tak perlu berpayah diri mencari nafkah setelah sang ayah meninggal. Setelah ini semua, tak boleh lagi ada keraguan dalam benak pikiran seorang Muslim, bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar bagi segala problematika yang menimpa umat ini, khususnya bangsa ini. Islam adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat menjelaskan hakikat keadilan di seluruh lapangan kehidupan: ibadah, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Setiap Muslim bertanggung jawab untuk menerjemahkan berbagai tujuan-tujuan Islam dalam kehidupan nyata. Bukan malah menggadaikan Islam demi kepentingan politik dan jangka pendek. Islamlah yang dijadikan tuntunan, bukan pengekor bagi evidensi-evidensi pemikiran, hatta atas nama kemaslahatan. “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan hanya kepadaKu-lah kamu harus bertakwa,” (QS al-Baqarah: 41). Allah menegaskan kemurkaanNya terhadap orang-orang yang menjual ayat-ayat Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tak akan berbicara kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Dan bagi mereka siksa yang sangat pedih,” (QS al-Baqarah: 174). Karena itulah, setiap gerak-gerik perjuangan menegakkan keadilan sekecil apa pun, tak boleh menyimpang dari rambu-rambu Islam. Setiap penyimpangan yang dilakukan, pada hakikatnya, tak hanya menjadikannya sebagai problem baru, tapi juga menunda datangnya kemenangan. Bukankah, menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu penghalang kemenangan?Akhirnya, setiap kita harus makin menegaskan ungkapan bahwa “Islam adalah akidah, syariah dan manhaj”, di seluruh lapangan kehidupan. Semua ini adalah keharusan, jika kita tak ingin musuh-musuh Islam kembali mengangkangi hak-hak kemerdekaan ibadah, sosial, ekonomi dan politik kita. Selain itu, seperti yang Allah tegaskan, keadilan juga dapat mengantarkan kita kepada ketakwaan yang merupakan esensi kehidupan. “Berlaku adillah, karena keadilan itu akan membawa kepada ketakwaan,” (QS al-Maidah:8). Wallahu al-muwaffiq.M. Nurkholis Ridwan
Template Designed by Douglas Bowman - Updated to New Blogger by: Blogger Team
Modified for 3-Column Layout by Web Links and Articles Directory